Thursday, January 11, 2007

Berani Hidup

"Stop worrying, start living."
~ Anonymous

"One isn't necessarily born with courage, but one is born with
potential. Without courage, we cannot practice any other virtue with
consistency. We can't be kind, true, merciful, generous, or honest."
~ Maya Angelou

"Be a warrior, not a worrier."
~ Jennie S. Bev

Banyak lagu di Indonesia yang bertemakan kesedihan dan
kenestapaan. .. "Betapa kasihannya diriku karena aku orang miskin dan
tidak punya. Ayah juga tidak punya, Ibunda juga tiada. Istri juga
belum punya, apalagi anak. Rumah juga hanya terbuat dari bilik saja
dan bepergian ke mana-mana naik bus kota yang sumpek dan berbau
keringat. Seringkali dihina pula. Ah, betapa aku orang yang sungguh
perlu dikasihani. Aku segan hidup, tapi belum mau mati."

Apa yang tersirat di dalam lirik seperti itu? Kurangnya keberanian
untuk hidup. Kurangnya rasa syukur yang dalam akan makna hidup yang
sebenarnya. Sudah diberi hidup untuk hari ini, masih juga
mempermasalahkan kemiskinan dan tidak punya ini dan itu. Padahal,
cukup dengan modal "hidup" saja, masalah kemiskinan dan tidak punya
pasangan hidup bisa dicari sendiri pemecahannya. Pendapat seperti ini
banyak membuat hati saya tidak enak, karena seakan-akan tidak
bersyukur sama sekali akan harta tidak ternilai, yaitu kehidupan yang
diberikan kepada kita karena kita begitu istimewa di mataNya.

Kekhawatiran luar biasa membebani setiap langkah yang diambil di
dalam hidup. Ini sangat tidak baik. Kegalauan hati juga memberi warna
kelabu, apalagi ketidakberanian untuk mengubah diri. Dengan
mempercayai bahwa diri kita lemah dan tidak berdaya, maka alam bawah
sadar kita sungguh percaya bahwa kita itu lemah dan tidak berdaya.
Jadilah di dalam benak hanya ada satu yang dicari-cari: rasa belas
kasihan bagi diri kita, yang datang baik dari luar maupun dari dalam
diri.

Mungkin Anda sekarang berpikir, "Ah, Ibu Jennie ini bisa saja, karena
dia toh tidak pernah merasakan naik bus kota. Dia kan ke mana-mana
naik mobil mewah dan makan di hotel berbintang lima." Eit, nanti
dulu. Ketika saya kuliah di Depok, saya memang mempunyai pilihan
untuk diantar jemput oleh sopir pribadi maupun naik bus kota karena
orangtua mampu membiayai, walaupun mungkin dengan sangat pas-pasan.
Yang mana pilihan saya, menurut Anda? Naik bus kota setiap hari. Aneh
bukan?

Waktu itu belum ada bus Patas ber-AC, sehingga mau tidak mau saya
naik bus dari Sarinah ke Pancoran, terus dari Pancoran ke Pasar
Minggu, dan dari Pasar Minggu baru ada `mobil unyil' ke Depok. Turun
di Margonda yang masih belum sepenuhnya beraspal saat itu, saya jalan
kaki di tanah yang kadang-kadang becek di kala musim hujan dan selalu
berlumpur tanah merah sepanjang tahun. Repot sekali karena berarti
celana jins dan sepatu kets saya mesti dicuci begitu tiba di rumah.
Kalau tidak ya tanah merahnya akan menempel permanen nodanya.

Selama perjalanan di dalam bus, tidak jarang saya mengalami hal-hal
yang memalukan dan diolok-olok karena tinggi tubuh saya yang 172
sentimeter, sangat jangkung untuk ukuran Indonesia. Belum lagi wajah
saya yang sangat "amoy" itu. Hal-hal rasis dan olok-olok yang tidak-
tidak karena fisik saya sudah menjadi makanan sehari-hari. Paling
tidak pasti ada sinar mata penuh rasa ingin tahu yang saya terima
setiap hari dari sesama penumpang. Untunglah karena saya langganan
setiap hari, para supir dan kenek bis sudah kenal dengan si "amoy
jangkung" ini. Hal-hal begini sudah membuat saya "kebal" juga
akhirnya.

Saat itu pernah terbesit di benak saya, betapa sesungguhnya saya
sangat berbeda dari orang kebanyakan. Jika dituliskan lagi mendayu-
dayu ala dangdut maupun pop sendu Indonesia. Mungkin ada lirik
begini, "Betapa malangnya nasibku, ayah tidak punya, ibunda hidup
susah kerja sendirian. Belum lagi tampangku Cina dan tinggiku
seringkali mentok di dalam Metro Mini. Aku hidup susah, semua orang
melihatku aneh dan berbeda dari orang lain." Lucu dan "kasihan
banget" bukan?

Eh, anehnya, tidak pernah satu kalipun saya merasa demikian. Malah
kalau terdengar lagu-lagu mendayu, hati ini rasanya geli sekali.
Tidak jarang saya tertawa terbahak-bahak mendengar hal-hal
yang "mengasihani diri sendiri." Mengapa? Karena di dalam benak saya,
setiap hari haruslah menjadi hari yang lebih baik daripada kemarin.
Dan ini tidak bisa di dapat dengan memanjakan diri bahwa "aku ini
orang yang perlu dikasihani."

Seperti billionaire philanthropist terkenal James Stowers pendiri
American Century Investments pernah berkata, "If you don't think
tomorrow is going to be better than today, why get up? You've got to
believe each new day is going to be better, and you have to be
determined to make it so. If you are determined, then certainlyl.. .
the best is yet to be." Jika Anda tidak yakin bahwa hari esok akan
lebih baik, mengapa bangun pagi? Anda harus percaya bahwa setiap hari
baru akan menjadi lebih baik dari kemarin dan Anda mesti usahakan
untuk menjadikannya demikian. Keyakinan Anda akan menjadikannya yang
terbaik, jauh lebih baik.

Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia memberikan label "desa
miskin" untuk desa-desa yang mempunyai income level di bawah garis
kemiskinan. Saya sendiri kalau diizinkan untuk berkomentar sedikit,
tapi mudah-mudahan tidak dianggap asbun ya. Bukankah sebaiknya
ditulis "desa yang sedang membangun dengan semangat besar menuju masa
depan yang lebih cerah lagi." Untuk singkatnya, ya "desa membangun"
saja. Bagaimana efeknya ketika dibaca? Memberi semangat keberanian
untuk maju, bukan? Mudah-mudahan saja label "desa miskin" seperti ini
sudah ditiadakan saat ini. Saya doakan. Namun, siapalah saya ini
memberi masukan seperti ini.

Nah, keberanian untuk hidup berarti juga tidak mengasihani diri
sendiri sama sekali. Berani hidup berarti berani menanggung kesulitan
hidup karena mempunyai kepercayaan diri yang besar bahwa semuanya
pasti bisa diatasi. Setiap hari adalah hari baru yang pasti lebih
baik daripada hari kemarin. Kalau begitu, apa lagi yang perlu
dikhawatirkan? Mari kita menertawai kekhawatiran dan ketakutan.[jsb]

Sumber: Berani Hidup oleh Jennie S. Bev. Jennie S. Bev adalah penulis, pengusaha, dan edukator asal Indonesia yang sukses di Amerika Serikat. Baca mengenai buku-bukunya, perjuangan hidup dan prestasinya di JennieSBev.com.

No comments:

Post a Comment